Cerita Kota Dengan Mayoritas Penduduk yang Berprofesi Sebagai “Penjudi Maniak”

“Kota Fortuna”

Di suatu tempat yang tak ada di peta dunia, tersembunyi sebuah kota bernama Fortuna. Kota ini tak seperti kota lain—mayoritas penduduknya adalah penjudi. Dari pagi hingga larut malam, suara mesin slot dan tawa dari meja roulette bergema di jalan-jalan yang berlapis lampu neon.

Tak ada pasar tradisional. Tidak ada sekolah, tidak ada rumah sakit. Sebagai gantinya, setiap gedung tinggi adalah kasino, dan setiap warung kopi menyuguhkan permainan kartu sebagai bonus pesanan.

Anak-anak belajar menghitung bukan lewat buku, tapi dari permainan dadu. Para orang tua mendidik bukan soal akhlak atau nilai, tapi strategi menang cepat. Bekerja keras dianggap kuno. Di Fortuna, yang pintar adalah yang tahu kapan harus “All In”.

Pemerintah? Juga Penjudi.

Wali kota Fortuna terpilih bukan lewat pemilu, tapi lewat turnamen poker terbuka. Pejabat publik membuat keputusan sambil bermain taruhan: “Kalau aku menang, proyek jalan dilanjut. Kalau kalah, ya ditunda dulu.”

Di sini, semua dikendalikan oleh satu keyakinan: “Hidup adalah perjudian.”

Sampai Suatu Hari…

Seorang pemuda bernama Alaric, yang besar di Fortuna, mulai bertanya-tanya. Ia memperhatikan ibunya yang dulu ceria kini menyisihkan seluruh tabungan untuk bermain mesin slot. Ia melihat kakaknya putus sekolah karena tergiur menjadi “pro player” di meja judi. Ia sendiri pernah menang besar, tapi juga pernah tidur lapar karena kalah total.

Suatu malam, Alaric menulis sesuatu di dinding kasino pusat:

“Kalau semua bertaruh, siapa yang membangun?”

Kalimat itu mengguncang. Orang-orang mulai memperhatikan. Seorang tukang masak berhenti bertaruh dan membuka warung kecil. Seorang mantan dealer mulai mengajar anak-anak berhitung dengan sempoa. Bahkan wali kota, saat kalah besar, menyendiri di balkon kantor dan mulai memikirkan ulang masa depan kota.

Awal Perubahan

Fortuna tak berubah dalam semalam. Tapi perlahan, suara mesin slot mulai kalah oleh tawa anak-anak yang bermain layang-layang. Sebuah sekolah pertama dibangun dari hasil donasi pemain yang tobat. Dan Alaric? Ia diangkat menjadi guru pertama di kota yang dulu hanya mengenal taruhan sebagai jalan hidup.

Pesan Moral Cerita:

Masyarakat yang terlalu bergantung pada judi, meski sah dan legal, akan kehilangan keseimbangan. Judi bisa menjadi hiburan, tapi bukan fondasi kehidupan. Kota atau bangsa yang besar dibangun oleh kerja keras, pendidikan, dan harapan—bukan oleh keberuntungan semata.

Related Posts